LAKSITA
JATI
(Meraih Kasampurnan Hidup)
Ilmu yang mengajarkan tata cara menghargai diri sendiri,
dengan “laku” batin untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah),
nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah). Pribadi
membangun raga yang suci dengan menjadikan raga sebagai reservior nafsul mutmainah.
Agar supaya jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan “badan halus” atau
ruhani atau badan sukma.
Hakikat kesucian, “badan wadag” atau raga tidak boleh pisah dengan “badan halus”, karena raga dan sukma menyatu (curigo manjing warongko) pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa), jika mati kelak “badan wadag” akan luluh melebur ke dalam “badan halus” yang diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Hidup yang tetap ada dalam diri kita pribadi, maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”. Maksudnya, “badan wadag” melebur ke dalam “badan halus”. Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya “badan halus” masih berada di dalam “badan wadag”. Maka dari itu terdapat pribahasa sebagai berikut:
“Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat
karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat
cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa”.
Sebagai contoh :
Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka
tali pengikat budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita kesakitan
tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi
sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah
semua nafsu-nafsunya; misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan. Jika tali
nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya, tinggal
tersisa tali karsa atau kemauan. Hal ini, para pembaca dapat menyaksikan
sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup
tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh. Apabila karsa atau kemauan, dalam
bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma,
akibatnya sukma terlepas dari “badan wadag”, dengan kata lain orang tersebut
mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian
sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda
dengan rasa ragawi. Bagi penganut kejawen percaya dengan rasa sukma ini. Maka
di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang yang sudah
meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan masih bisa
merasakannya. Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih lanjut dijelaskan karena
sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum melanjutkan “perjalanan” ke
alam barzah atau alam ruh.
Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa)
yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha
Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang
lebih rendah adalah sebagai berikut;
Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
Sukma atau ruh (Ruhullah).
No 1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha
Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan
bakar. Ruh yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan
Tuhan, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana menjadi
“jengjem jinem” tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb.
Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk
ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa
karsa. Yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat,
lebur dening pangastuti.
KONSEP ARWAH PENASARAN
Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya
bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran karena masih ada
tanggungjawab di bumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau “hutang”
yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu dalam
konsep Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam
dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain yang
masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena kenyataan bahwa
raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran
Kejawen terdapat tata cara “penyempurnaan” arwah (penasaran) tersebut.
JALAN SETAPAK MERAIH
KESUCIAN
(Jihad/Perang Baratayudha/Perang Sabil)
Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian
Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau
mukswa. Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang
tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus
(ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada
dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi,
dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu
duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan
destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat
Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan
perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir
dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka).
Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii
Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.
Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad
secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi
(bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ; rela (rilo),
ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen
lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan
budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya
manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian
dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini :
“jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo
marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo
sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo,
atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”
(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi,
budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa
pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup
pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).
Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal
dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan
makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat
(manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia
harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang
Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;
1. Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
2. Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah
merasa lapar.
3. Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah
merasa haus.
4. Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa
kantuk.
5. Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat
situasi dan kondisi.
6. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa
sangat rindu.
7. Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat
senang orang-orang, walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal tidak
meninggalkan duga kira.
Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat
dalam 8 perkara berikut;
1. Mengumbar hawa nafsu.
2. Mengumbar kesenangan.
3. Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
4. Berulah yang meresahkan.
5. Tindakan nista.
6. Perbuatan dengki hati.
7. Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
8. Enggan menderita dan prihatin.
Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan
menjadi aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan
dalam rumus bahasa berikut ini;
1. Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
2. Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau
batin.
3. Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
4. Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.
PERBUATAN, PASTI
MENIMBULKAN “RESONANSI”
Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat
suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita
kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika
perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa
kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal
ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa;
Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,
Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan
kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan
menjadi lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti
PERILAKU TAPA BRATA
Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan
“tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan
hakikat puasa seperti di bawah ini;
1. Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati;
gemar berbuat baik.
2. Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya
niat/prasangka buruk, tidak iri hati.
3. Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima
musibah, serta memberi maaf kepada orang lain.
4. Tapa/puasanya sukma; jujur.
5. Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta
kuat prihatin dan menderita.
6. Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa
dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian.
7. Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar
makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.
Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab
masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata ;
1. Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata
dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
2. Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan
mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.
3. Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau,
dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.
4. Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak
menggunjing keburukan orang lain.
5. Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak
sembarangan ngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.
6. Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok,
nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.
7. Tapa/puasanya suku/kaki; mencegah langkah menuju perbuatan
jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar berjalan sembari “semadi”
yakni berjalan sebari eling lan waspodo.
Tapa/maladihening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat
diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang
sangat tinggi dan mendalam sbb;
“Katimbang turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek.
Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang
ngadeg, becik lumakuo”.
(Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik
melek. Daripada melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri.
Daripada berdiri lebih baik melangkah lah)
Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di
atas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada. Agar supaya
setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabut, sebaliknya
justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang
lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain.
Untuk itu manusia pinunjul harus;
1. Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga
2. Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan,
menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara
3. Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen.
Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang
situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak
asal-asalan. Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek,
maka “isi”nya menjadi tidak berharga. Dengan kata lain, jangan mengabaikan
(dugoprayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab sesempurnanya
manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan
dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu
sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;
1. Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang
luhur.
2. Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.
3. Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.
4. Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.
5. Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.
Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini
diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata. Kegagalan melaksanakan
tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak lain
adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini;
1. Zamannya kemelaratan, dimulai dari perilaku boros
2. Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena,
tanpa awas.
3. Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
4. Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
5. Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
6. Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
7. Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai
orang lain.
Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”, lebih
dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni;
1. Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati,
tidak ceroboh.
2. Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas
kasih.
3. Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan
santun.
4. Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
5. Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan
tapabrata.
6. Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya
dari eling dan waspada.
7. Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah,
narimo, legowo, tapa.
SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM
Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit berusaha memaparkan
garis besar TAPA BRATA, agar supaya mudah diingat dan gampang dicerna bagi para
pembaca yang masih awam tentang ajaran Kejawen.
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia,
seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang
tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada dasarnya,
tumbuhnya budipekerti (bebuden) yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling,
tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati, tumbuhnya “tidak punya
rasa punya”, tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi,
tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah
(tawadhu’). Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia
seseorang.
Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi
perkembangannya berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru
memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto
yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa nafsu,
serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu.
Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga merupakan nasehat yang
hiperbolis, sbb;
“ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang
magel. Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten superep ing
suraosipun”
Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan
menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi”. Siapa yang sunguh-sungguh
mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri.
Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui
Tuhannya. Artinya siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua
ilmu kajaten (makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya
badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri.
Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”,
sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi” badan melepas
“kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas melanjutkan perjalanan ke
alam keabadian. Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai
perjalanan “isi”. Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang
Maha Abadi.
Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada
Gusti Pangeran Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi,
lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci;
di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling
kawulo gusti. Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta
menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut
sebagai “PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud, manembah (shalat)
tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling dan
menyebut Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan;
“salat ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah,
lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem,
tilem kaliyan melek.
(sembahyang sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan
di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari
melek).
Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat
Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati,
Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.
No comments:
Post a Comment