MENGENAL NGELMU SASTRA JENDRA
Ilmu (kawruh) adalah
pengetahuan nalar. Sedangkan ngelmu (angel anggone ketemu) adalah pengetahuan
spiritual.
Sebelum membahas
tentang ngelmu sastra jendra saya bermaksud sedikit mengulas secara “ontologis
dan epistemologis” agar supaya kita lebih mudah memahami apa sejatinya ngelmu
sastra jendra. Di antara para pembaca yang budiman barangkali bertanya-tanya,
apakah yang dimaksudkan dengan pendekatan rasionalisme dan apapula yang
dimaksud dengan pendekatan emphirisisme dalam tradisi memperoleh pengetahuan,
dan bagaimana cara kita untuk mengenali dan membedakan di antara keduanya?
Untuk membedakannya, kita bisa melihat apakah objek yang dibahas itu adalah sesuatu yang bisa dilihat ataukah sesuatu yang menjadi objek pembahasan itu tidak bisa terlihat. Jika objek dari pokok bahasan itu bisa dilihat seperti objek biologi, kimia, fisika dan lain-lain maka kita menyebutnya dengan ilmu emphirisme. Sementara jika objeknya tidak bisa terlihat seperti fildafat, bahasa, matematika, agama kita menyebutnya dengan ilmu rasionalisme. Jikalau kita sudah bisa mengenali mana persoalan ilmu yang disebut dengan emphirisisme dan mana yang disebut dengan rasionalisme maka apakah yang menjadi pembeda di antara keduanya ? Bagaimana persoalan pengetahuan dari sudut pandang orang-orang emphiris dan bagaimana pula dari sudut pandang orang-orang rasional? Jawaban sederhananya ; adalah terletak pada penekanan fungsi akal. Menurut orang-orang emphiris tidak ada satupun di alam semesta ini yang masuk akal kalau sesuatu itu tidak bisa dilihat dan dialami. Fungsi akal pada persoalan ini persis seperti fungsi cermin, yaitu hanya menerima bayangan yang masuk lalu kemudian memantulkannya lagi. Dengan memahami persoalan fungsi akal ini maka menurut kaum emphiris manusia itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang mereka usahakan dan karena itulah maka semua orang akhirnya memiliki takaran pengetahuan yang berbeda-beda karena berangkat dari pengalaman olah akal yang berbeda-beda pula. Sedangkan menurut kaum rasional justru sebaliknya. Menurut pendapat mereka fungsi akal justru untuk mengingat-ingat kembali (recalling) apa-apa yang sudah ada di dalam akal itu sendiri. Jadi tidak benar kalau akal mendapatkan pengetahuan dari indra dan pengalaman karena sesungguhnya pengetahuan manusia itu sudah melekat pada dirinya sendiri jauh-jauh hari sebelum mereka terlahir ke planet bumi ini. Karena fungsi akal adalah untuk recalling atau mengingat-ingat kembali, maka dengan sendirinya semua orang sesungguhnya mempunyai potensi pengetahuan yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada kemampuan recalling masing-masing individu.
Ilmu
Spiritual yang Metodis dan Ilmiah
Sastra jendra,
merupakan ngelmu yang diperoleh melalui perpaduan antara metode olah batin,
pendekatan emphirisisme dan rasionalisme. Ketiga pendekatan tersebut harus
matching, sinambung dan sepadan. Untuk itu sastra jendra bukanlah ngelmu yang
hanya sekedar jarene atau katanya. Dapat dikatakan Ngelmu sastra jendra
diperoleh sebagai hasil dari olah batin yang gentur dilakukan dalam waktu yang
lama sehingga membuahkan hasil berupa pengalaman batin dan pengalaman lahir.
Bahkan ngelmu sastra jendra merupakan ilmu rahasia “langit” yang berhasil
diproses agar “membumi”. Dengan demikian dalam kawruh sastra jendra, tidak ada
lagi kegaiban yang tidak masuk akal. Segala yang gaib justru sangat masuk akal,
bisa diterima oleh logika penalaran. Artinya, otak kiri sudah berhubungan erat
dengan otak kanan. Otak kanan sudah pernah menerima noumena (“fenomena gaib”)
yang diterima oleh mata batin maupun wadag. Bagi yang belum bisa memahami gaib
secara akal, atau masih menganggap gaib sebagai sesuatu yang irasional, hal itu
menandakan ia belum berhasil melewati proses demi proses ngelmu Sastra Jendra
secara tuntas.
Pada awalnya untuk
mendapatkan ngelmu Sastra Jendra ditempuh melalui metode olah batin yang berat
dan panjang. Untuk memperoleh Ngelmu sastra jendra, seseorang tidak hanya cukup
yakin saja. Tetapi harus bisa membuktikan sendiri, dengan menyaksikan,
mengalami dan merasakan sendiri fakta di balik rahasia alam wadag maupun di
“alam” gaib. Dalam metode atau pendekatan ngelmu satra jendra, kebenaran
bukanlah sekedar postulat, aksioma, argumentasi rasional, apalagi sekedar
keyakinan saja. Kebenaran sekalipun bersifat gaib dan dalam ranah idealitas,
tetap harus bisa dibuktikan secara “ontologis” dan “epistemologis” atau obyek
dan subyek ilmu. Oleh sebab itu, dalam tradisi ngelmu sastra jendra pengalaman
gaib bukan lagi pengalaman batin yang bersifat subyektif, melainkan pengalaman
yang bersifat obyektif dapat dibuktikan oleh orang lain yang memiliki kemampuan
olah batin yang sama. Apabila pengalaman gaib dikatakan subyektif hal itu
karena kenyataan bahwa hanya sedikit orang-orang yang sungguh-sungguh bisa
membuktikan dan mempunyai pengalaman gaib tersebut. Secara epistemologis,
metode pembuktian dilakukan oleh beberapa orang yang sama-sama mampu merambah
ke dalam dimensi gaib untuk melakukan pembuktian bahkan tidak menutup
kemungkinan menemukan suatu “hipotesis” baru. Hasil dari pembuktian itu lalu
diambil suatu kesimpulan yang dirumuskan sebagai sebuah rumus-rumus yang
berlaku di alam kegaiban. Misalnya; seperti kisah keajaiban yang pernah saya
posting dalam “Kunci Merubah Kodrat” bahwa organ tubuh manusia yang “disimpan”
di dalam dimensi atau alam kehidupan sejati (alam kelanggengan) tidak akan
rusak atau busuk, karena di sono tidak ada rumus kerusakan sebagaimana di
mercapada atau bumi. Merca adalah panas atau rusak, pada adalah tempat atau
papan. Segala sesuatu yang ada di mercapada berarti akan terkena rumus
kerusakan. Rumus ini tidak berlaku di alam kelanggengan atau alam kehidupan
sejati. Rumus ini dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa “aneh” (sebut
saja mukjizat) di mana seorang anak angkat yang menghibahkan ginjalnya untuk
ditransplantasi kepada ibu angkatnya selama lebih kurang 15 tahun lamanya
hingga wafat dalam kondisi baik dan sehat. Setelah beberapa tahun sejak ibu angkatnya
wafat, ginjal itu benar-benar kembali ke dalam perut anak angkat yang
menghibahkannya dulu, dan tetap berfungsi secara normal lagi. Peristiwa
mukjizat tersebut TIDAK terjadi sekonyong-konyong, ujug-ujug, dan bukannya
peristiwa yang tidak bisa dijelaskan prosesnya. Melalui ngelmu sastra jendra,
peristiwa itu dapat dijelaskan secara rasional oleh orang lain dan secara
emphiris oleh ybs (anak angkat tersebut). Maka dari itu ngelmu sastra jendra
bisa disebut sebagai ilmu spiritual (gaib) yang ilmiah. Dapat dilakukan
verifikasi (uji kebenaran) atas hipotesa-hipotesanya oleh banyak orang terutama
yang mampu membuktikan. Hanya saja, kelemahan ngelmu sastra jendra yang
memverifikasi hipotesis haruslah seseorang yang sudah berkompeten, mahir dalam
berinteraksi dengan dimensi gaib. Tak cukup hanya melalui disiplin ilmu
pengetahuan saja. Kelemahan metode ini selain sangat terbatas orang yang bisa
menguji atau memverifikasi kebenarannya, juga orang yang mengaku bisa menguji
harus terseleksi hingga lulus uji terlebih dahulu. Sebab bukan tidak mungkin
orang tersebut masih rancu dalam memahami gaib. Kerancuan yang disebabkan oleh
adanya polutan yang bernama ilusi, imajinasi, dan fantasi hal-hal gaib atau
dogma yang mengendap di alam bawah sadarnya yang sewaktu-waktu bisa muncul
seolah gambaran gaib. Sebaliknya, yang menseleksi juga harus diseleksi terlebih
dahulu. Hal itu dapat dilakukan apabila semakin banyak orang waskita yang mampu
berinteraksi dengan gaib secara bersama-sama melakukan uji kebenaran dan
dilakukan sejujur-jujurnya. Orang-orang seperti ini jarang kita temukan di
zaman sekarang di mana kesadaran kosmos telah terampas oleh kesadaran semu
dogma, termasuk pula yang semata-mata mengandalkan daya analisa otak kiri yang
limited. Namun masih ada secercah harapan, dengan hadirnya anak-anak kristal,
yang jauh lebih cermat dan matang dari anak-anak indigo serta kawula muda
bangsa yang kini tampak semakin bersemangat untuk belajar mempertajam batin.
Sedikit orang waskita yang memiliki ketajaman batin bukan berarti merupakan
takdir atau garis hidup dan bakat alamiah. Bagi saya pribadi, setiap orang
memiliki “software” yang kurang lebih sama, sehingga semua orang memiliki
kesempatan yang sama untuk mempertajam mata batinnya asal saja mau mengolahnya
dengan sungguh-sungguh.
Lebih lanjut tentang
metode memperoleh ngelmu sastra jendra, secara ontologis ia memiliki obyek
penelitian yang bersifat gaib maupun wadag (tanda-tanda/bahasa alam) tetapi apa
sesungguhnya yang terjadi masih sangat rahasia. Namun sekali lagi, kegaiban
bukan berarti tidak bisa dilihat dan dialami secara emphiris, tidak pula melulu
hanya dibahas dengan pendekatan rasionalisme. Hanya saja walaupun obyek gaib
(noumena) benar-benar ada, namun belum tentu langsung bisa dilihat secara wadag
oleh setiap orang. Bagi orang yang bisa melihat, menyaksikan dan merasakan
sendiri obyek gaib, hal itu merupakan sebuah pengalaman emphiris yang
biasa-biasa saja. Gaib bukan lagi sekedar bisa dijabarkan melalui pendekatan
idealisme-rasionalisme, namun juga dengan mudah dapat diketahui dan dalami
secara emphirisisme. Semua tergantung pribadi masing-masing apakah ada kemauan
atau tidak. Dengan metode itulah Ngelmu sastra Jendra lahir dari orang-orang
waskita di zaman dahulu. Ngelmu Sastra Jendra tak ubahnya “pisau analisa” yang
mampu mengupas rahasia di dalam NOUMENA atau gejala-gejala yang ada di dimensi
gaib, apalagi hakekat dan rahasia di balik FENOMENA atau gejala-gejala yang ada
di dimensi wadag.
Antara
Keyakinanisme dengan Spiritualisme
Lantas di mana posisi
keyakinan dalam hal ini ? Tentu saja keyakinan tidak memiliki metode ilmiah
sebagaimana Ngelmu Sastra Jendra. Keyakinan melimputi dua kutub yakni; yakin
untuk meyakini adanya sesuatu atau pun yakin untuk meyakini tiadanya sesuatu.
Kedua kutub keyakinan tersebut sama-sama hanya butuh pengakuan subyektif saja
untuk sekedar meyakini saja! Asas utama kedua kutub keyakinan itu adalah sikap
percaya tanpa perlu membuktikan melalui pengalaman batiniah, emphiris dan
rasional. Nah, ngelmu sastra jendra bisa digunakan untuk membuktikan sekaligus
menguatkan dua macam kutub keyakinan dengan cara membuktikan apakah sesuatu
yang diyakini atau tidak diyakininya benar adanya. Dengan cara berusaha untuk
mengalami dan menyaksikan paling tidak merasakannya, sehingga tidak hanya
sekedar yakin, tetapi menjadi hak atau kesadarannya akan adanya kebenaran
sejati. Meskipun demikian kedua kutub keyakinan mempunyai kekuatan yang dahsyat
untuk menopang mental seseorang. Sebaliknya, kelemahan dari kedua kutub
keyakinan tersebut masing-masing dapat terpatri secara kuat dalam benak,
menyingkirkan kemampuan nalar dan batin untuk memahaminya secara rasional dan
secara esensial (hakekat). Bahkan dua kutub keyakinan dapat menjadi lebih kuat
daripada pengalaman emphiris dan pengetahuan rasionalitas. Karena kedua
keyakinan (sengaja) bertumpu pada sesuatu yang teramat jauh dari jangkauan
rasionalisme dan emphrisisme itu sendiri. Jika kita mau jujur, pada saat
keyakinan adanya sesuatu atau keyakinan akan tiadanya sesuatu kita serap dengan
nalar dengan tanpa disertai olah batin untuk sekedar merasakan bahkan melihat
atau mengalami sendiri, nyaris tak ada bedanya pada saat nalar kita menikmati
sebuah imajinasi, mitologi, legenda dan dongeng. Dan masing-masing pemegang
sikap keyakinan untuk yakin adanya sesuatu dan keyakinan untuk menolak adanya
sesuatu, keduanya memiliki kecenderungan yang sama yakni, menganggap bahwa
keyakinan dirinyalah yang paling benar sementara ia sulit membuktikannya
sendiri.
Sementara itu kesadaran
spiritual (ketuhanan) lebih cenderung memahami kehidupan ini secara bijak dan
arif. Ia sadar bahwa jalan menggapai spiritualitas adalah beribu bahkan
bermilyar cara yang tiada batasan jumlahnya. Ibarat bilangan berapapun jika
dibagi nol (0) ketemunya adalah bilangan tak terbatas. Atau sejatine ora ono
opo-opo, sing ono kuwi dudu. Manusia bisa manembah kepada Gusti Yang Maha
Tunggal (suatu episentrum dari segala episentrum zat energi yang maha dahsyat
atau energi hidup yang menghidupkan) dengan sebanyak nafasnya. Bagaikan
aktifitas menghirup udara bisa kita hitung, berapa kali dalam sehari, dan
dilakukan oleh berapa banyak orang. Tetapi udara itu sendiri merupakan suatu
zat yang tak bisa dihitung. Sikap manembah berarti menselaraskan zat yang ada
dalam diri kita dengan zat maha dahsyat tersebut. Lebih lanjut soal
spiritualisme, bahwa nilai-nilai spiritual akan tumbuh dengan sendirinya
seiring-sejalan dengan makin banyaknya pengalaman demi pengalaman batin dan
lahir yang individu alami sendiri. Maka spiritualisme berakar pada suatu
pengalaman batin, dan tak dapat disangkal dan ditolak bahwa kecenderungan
setiap individu adalah bersentuhan dengan suatu pengalaman batin. Bagi yang mau
mencermatinya, tentu akan mendapatkan pengetahuan spiritual, sebaliknya akan
mengabaikan pengalaman batin tersebut bagai angin berlalu begitu saja tanpa
bekas.
Kebimbangan
; Pertarungan Nurani dengan Nalar
Terkadang nurani
merasakan adanya kejanggalan atas sesuatu yang kita yakini atau pun yang tidak
kita yakini selama ini. Hingga timbul keraguan yang sangat bergolak di dalam
sanubari. Hal itu wajar karena apa yang diyakini atau tidak diyakini merupakan
sesuatu yang belum pernah dilihat dan dialami sendiri, sehingga “keimanan”
sangat rentan bergoyah. Kebimbangan demi kebimbangan muncul saat terjadi
pemberontakan nurani terhadap pola pikir yang selama ini hanya menyerap ilmu
melalui doktrin semata. Termasuk di dalamnya manakala anda akan melakukan
sesuatu keputusan yang membuat bimbang. Hal ini menunjukkan adanya daya tarik
menarik antara getaran nurani dengan pertimbangan nalar anda sendiri. Bila
kekuatan keduanya berimbang akibatnya kebimbangan itu muncul, yang disertai
keraguan, dan ketidakpuasan terhadap apa yang anda yakini ataupun yang tidak
anda yakini selama ini.
Nalar kita yang sudah
terpola (mind-setting) oleh doktrin keyakinan sejak kanak-kanak, biasanya nalar
tersebut dengan sekuat tenaga akan segera mencegah kesadaran nurani yang sedang
menggeliat, dengan buru-buru mendefinisikan geliat nurani itu sebagai bentuk
gangguan mahluk halus. Kesadaran indoktrinasi bagaikan “lingkaran setan”.
Kesadaran indoktrinasi meretas nilai-nilai doktrin yang baru. Nalar yang sudah
terdoktrin cenderung mendoktrin kesadaran kita, dengan cara meyakin-yakinkan
diri kita atas suatu dalih bahwa keyakinan merupakan wilayah yang tabu untuk disentuh
dan dijabarkan di depan publik. Atau ditekankan suatu konsep bahwa “hanya tuhan
saja yang paling berhak mengetahui segala sesuatu yang gaib”. Walau
kenyataannya banyak sekali manusia yang berkesempatan merasakan, mengalami dan
menyaksikan suatu noumena di alam kegaiban. Dalam titik kulminasi terjadi
extreme ignorance, atau kesalahan yang fatal, di mana nalar yang
terindoktrinasi berusaha membunuh setiap getaran nurani. Nalar dengan
serta-merta menjatuhkan vonis bahwa kebimbangan dan keraguan terhadap suatu
keyakinan bukan datang dari nurani, melainkan wujud nyata “bisikan setan” yang
bertujuan menggoyahkan keimanan seseorang. Nalar kita mampu bekerja secara
otoriter, artinya tidak berperan secara dinamis melalui prinsip dialektika,
dialog imbal balik, atau kontemplasi mendalam dalam memahami kehidupan ini.
Tabiat nalar yang otoriter justru melahirkan dehumanisme, mencetak karakter
pribadi yang tumpul mata batinnya. Alam bawah sadar yang merangkum nilai
doktrinasi sejak kecil menciptakan akal fikiran yang sangat terpola dan menjadi
kaku, tertutup, serta anti toleran (sikap fanatisme).
Sudah menjadi hukum
alam semesta bahwa kehidupan ini bersifat dinamis, walau seringkali memakan
waktu teramat panjang dan terlambat. Bisa jadi lambat laun kekuatan nurani memenangkan
pertarungannya dengan kekuatan nalar yang terindoktrinasi. Dalam falsafah Jawa
dikenal rumus-rumusnya misalnya becik ketitik, ala ketara. Sepadan dengan
peribahasa berikut; serapat-rapatnya menyimpan bangkai, toh akhirnya tercium
baunya juga. Barangkali tahun 2012 di mana daya magnetik galaktika melemah,
gravitasi bumi kendur, menyebabkan banyak orang mengalami penurunan gelombang
otak, ibarat melakukan meditasi secara massal. Lereming pancadriya, tinarbuka
ing waksita. Bisa jadi saat itu kelak menjadi momentum terbukanya kesadaran
nurani yang lebih dalam lagi bagi banyak orang. Bila tahun 2012 dianggap
sebagai saat kiamat tiba, saya memahaminya sebagai kiamatnya kesadaran semu
yang melekat dalam nilai-nilai doktrin, sekaligus merupakan awal lahirnya suatu
kesadaran baru, yakni kesadaran sejati berada di relung sanubari kita.
Sementara yang gagal lolos seleksi alam, berarti pula pertarungan dimenangkan
oleh kekuatan doktrin yang cenderung kontraversi dengan dinamika alam semesta.
Kegagalan itu beresiko melahirkan kepribadian mudah stress, gampang bingung,
sikap fatalis, hingga gangguan kejiwaan. Ujung-ujungnya adalah sikap ekstrim
sebagaimana sikap-sikap radikal.
Sampai kapan nalar kita
mampu mencegah pemberontakan kekuatan nurani? Sejak zaman dulu manusia terjebak
oleh pola pikir yang menyangka bahwa kedua macam kutub keyakinan tersebut
selalu dikaitkan dengan kekuatan yang transenden (berada di luar diri manusia),
yang memiliki hukum sebab akibat fantastis. Kebaikan menghasilkan surga,
keburukan menyebabkan neraka. Surga neraka pun terjadinya kelak pada waktu yang
tak seorangpun tahu kapan akan terjadi sehingga banyak orang cenderung
bersantai-santai. Saya kira “surga-neraka” sudah ada sejak saat kita hidup di
bumi ini yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hari pembalasan/hukum karma pun
tak perlu dinanti kelak, karena telah terjadi pembalasan tiap hari, yang
terangkum dalam mekanisme hukum sebab akibat. Hari ini adalah buah dari apa
yang kita lakukan di waktu yang telah berlalu.
Fanatisme
vs Spiritualitas Sejati
Nilai-nilai keyakinan
diikat dan dipertahankan melalui doktrin-doktrin atau proses hegemoni kesadaran
agar seseorang mempercayainya. Sementara itu nilai-nilai spiritual diikat dan
dipertahankan oleh diri pribadi karena pengalaman emphiris dan pengalaman
batiniah yang sekaligus bisa diterima secara rasional. Spiritualisme adalah
pemahaman akan hakekat yang memuat nilai-nilai universal. Tak heran jika
seorang spiritualis sejati memiliki sikap toleransi tinggi terhadap keyakinan
yang berbeda. Karena spiritualisme berlandaskan pada kesadaran holistic
spirituality. Inilah bedanya, fanatisme sejati, dengan spiritualis sejati.
Fanatisme bertumpu pada keyakinan saja. Sementara itu spiritualitas sejati
bertumpu pada perjalanan batin yang penuh dengan pengalaman emphiris, maupun
pengalaman batin yang bisa dipahami dan dijangkau oleh rasio. Seorang fanatis
menjelaskan tuhan secara etnosentris, rasis, primordialis dan dogmatis, yang
memaksa orang lain agar sependapat dengan dirinya. Fanatis juga memvonis siapapun
yang berusaha menjelaskan tuhan secara rasional sebagai kafir (menutup diri
dari kebenaran) dan sesat (salah jalan). Hal itu justru mengesankan seolah-olah
kebenaran sejati ditandai bilamana “kebenaran” tersebut tidak bisa dicerna
secara rasional. Jikalaupun ada orang yang mampu mengalami persentuhan dengan
gaib, baik secara batin maupun emphiris, disebutlah ia sebagai pembohong besar
dan telah disesatkan oleh si “setan kober”. Sementara itu spiritualis sejati
menjelaskan konsep ketuhanan dengan sifat-sifatnya secara esoteris, demokratis
dan universal. Maka seorang spiritualis sejati, ia akan menganalogikan tuhan
sebagai wujud sifat dan karakter yang lebih enak dan nyaman dirasakan. Misalnya
Mahakasih, Tuhan Yang Tidak Pilih kasih, Yang Tidak Kejam, Yang Maha Welas
Asih. Sikap sebaliknya, meyakini tuhan dengan karakter seperti layaknya
sifat-sifat nafsu manusia yang menakutkan, misalnya ; kejam, murka, bahkan
disangka tuhan pencemburu. Faktanya, konsep tersebut sangat mempengaruhi pola
pikir masing-masing orang. Orang yang mengkonsep tuhan maha kejam, ia akan
menjadi pribadi yang tega-an. Yang mengkonsep tuhan maha murka, ia akan menjadi
pribadi yang gampang marah, bahkan menyangka kemurkaannya adalah absah karena
telah mewakili kemurkaan tuhan. Darimana ia tahu tuhan telah murka ? Jika kita
mau cermati adalah suatu fakta di lingkungan kita, bahwa landasan spiritual
–yang berlandaskan pada holistic spirituality– cenderung memiliki sifat
toleran, sebaliknya fanatisme yang tumbuh dari doktrinasi cenderung bersifat
anti-toleran.
Saya pribadi memahami
bahwa agama bukanlah tujuan melainkan jalan untuk mencapai kesadaran spiritual
itu sendiri. Lebih dari itu, agama bukan alat untuk meraih kekuasaan
(politisasi agama) apalagi untuk mendirikan suatu kekalifahan seperti zaman
dulu di Timteng dan sekitarnya. Memahami agama sebagai tujuan, lagi-lagi akan
terjebak pada sikap fanatisme. Selebihnya, menjadikan agama sebagai alat untuk
menciptakan dan meraih kekuasaan (kalifah/theokrasi) akan rentan terjadi
instabilitas nasional. Itulah salah satu sebab di manapun saja, negara
theokrasi –yang berasaskan agama– sangat rawan terjadi perpecahan dan
pergolakan. Hal itu dipicu oleh sebab kebebasan beragama yang bersumber pada
kesadaran holistic spirituality hilang bilamana prinsip negara nasional
digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Theokrasi sangat
memerlukan tali pengikat keutuhan politik. Biasanya theokrasi lantas terjebak
menerapkan sistem otoriiterisme, tirani, ataupun fasisme. Nah, apakah konsep
ketuhanan dipahami bersifat tiran, fasis, otoriter ? Ataukah tuhan bersifat
demokratis ? Jawabannya bukan pada tuhan, tetapi pada pola pikir masing-masing
individu.
Apa yang akan terjadi
jika nusantara ini berprinsip theokrasi, alias “negara agama”. Tentunya negara
theokrasi akan memiliki kecenderungan anti-toleran dan rawan memecah belah
kesatuan bangsa yg sangat heterogen ini. Tak pelak nusantara akan menjadi
ladang pembantaian antara satu dengan lainnya (killing field). Sebab akan
terjadi “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal
suatu (aliran) agama yang memiliki otoritas politik besar. Sekedar contoh, di
zaman dulu banyak kasus-kasus hukuman mati atas perbedaan keyakinan, atau
bentuk-bentuk kekerasan fisik dan mental, intimidasi, teror, serta anarkhisme
seperti masih terjadi di zaman sekarang. Hal itu membuktikan suatu kebangkrutan
sebuah ideologi agama bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi
tempat pada keyakinan/iman yang berbeda-beda.
Setiap orang pada
mulanya berada dalam “goa” prasangkanya sendiri. Manakala menoleh di belakang,
oh ternyata ada cahaya tampak terang, lalu melongok ke atas, barulah menyadari
betapa selama ini berada di dalam goa yang gelap gulita. Banyak hal merupakan
sangkaan pribadinya sendiri, tidak ada apa-apa kecuali yang berfatwa. Maka
untuk mengurangi resiko destruktif, kita seyogyanya lebih berpositif thinking
dan berhati-hati saat sedang berprasangka (buruk) kepada orang lain yang
berbeda pandangan.
Ngelmu
dan Kawruh
Ngelmu atau angel
anggone ketemu (sukar diraih) disebut pula ilmu spiritual, yakni ilmu tentang
kebatinan dan ketuhanan. Ngelmu banyak diserap oleh indera batin sebagai
pengetahuan batin. Sementara itu kawruh adalah ilmu diserap oleh indera fisik,
sebagai pengetahuan nalar. Sastra Jendra termasuk kategori ngelmu. Ngelmu
Sastra Jendra disebut pula Sastra Ceta. Suatu ilmu spiritual yang mengandung
kebenaran faktual (noumena), nilai-nilai luhur, dan keagungan akan kesempurnaan
penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia pada umumnya. Karena
itu Ngelmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu sejati atau pengetahuan
tentang rahasia seluruh semesta alam (fisik dan metafisik) beserta dinamikanya.
Ngelmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah ilmu pengetahuan
batin sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Ngelmu Sastra Jendra
berasal dari kaum ningrat di dalam kraton, jika dijabarkan teramat luas
cakupannya. Dulunya dipelajari oleh para raja, orang-orang linuwih, empu, resi,
kihai dan para pandita. Itulah orang-orang yang dimaksud golongan NINGRAT,
bukan berarti setiap orang yang “berdarah biru”, tetapi orang yang selalu
hening ing rat. Orang yang selalu mengheningkan cipta dan batin untuk menggapai
kesadaran kosmos. Seseorang sebelum menyerap ngelmu sastra jendra terlebih dulu
harus memahami jagad alit dan jagad ageng, mikrokosmos dan makrokosmos.
Mengenali hakekat diri sejati dan hakekat alam semesta. Sesudah itu barulah
secara bertahap dapat memahami, menghayati dan mengamalkannya. Bagaimana
mungkin seseorang berhasil sukses dalam peng-hayat-an dan peng-amal-an
(implementasi) jika belum sungguh-sungguh memahami secara benar tentang diri
sejati dan alam semesta ini.
Cakupan
Ngelmu Sastra Jendra
Ngelmu Sastra Jendra
mencakup beberapa pokok bahasan sebagai berikut ;
1. Ajaran tentang
ketuhanan
2. Ajaran tentang alam
semesta
3. Ajaran tentang
manusia
4. Ajaran tentang
kesempurnaan
Ngelmu sastra jendra,
menjadikan seseorang memiliki KESADARAN KOSMOS, sehingga mempunyai kemampuan
yang titis, tetes, tatas, mampu weruh sadurunge winarah, karena energi
kesadarannya telah menerobos dimensi ruang dan waktu. Muara ngelmu sastra
jendra adalah Hayuning Rat Pangruwating Diyu, Jagad gumelar jagad gumulung,
yakni sebuah prinsip keseimbangan alam, dalam cerita wayang diperankan dalam cerita
Panggung Songgo Buwana.
No comments:
Post a Comment